Menuju Efisiensi Keuangan Sektor Publik
Salah satu penyebab kebocoran dan ketidak efisienan dana di sektor publik adalah karena adanya mark up dalam Laporan Keuangan atas Program Kerja. Bagaimana perhatian kita terhadap hal ini kalau kita memang menghendaki perbaikan ekonomi?
Indonesia terus merangkak. Kita boleh berbangga bahwa kita telah mendengar adanya keinginan untuk merevisi, merubah, atau mengganti Undang-Undang dan Peraturan yang akan menjadi pedoman dalam perjalanan Bangsa Indonesia selanjutnya. Kita lihat misalnya mulai dari Pemberlakuan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, kemudian juga Otonomi Perguruan Tinggi, Perubahan pada Sistem Pendidikan Nasional, Standardisasi Pendidikan Nasional, atau tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Lepas dari Pro dan Kontra tentang kebijakan tadi, kita juga bisa melihat fenomena lain, misalnya tentang penyimpangan keuangan di KPU, kasus Abdulah Puteh di Aceh, termasuk kasus korupsi beberapa Kepala Daerah lain, dan kelangkaan BBM yang sempat melanda di berbagai daerah di Indonesia. Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah ini kesalahan sistem atau sikap mental para pelaksananya?
Kali ini kita tidak akan membahas dan mengungkit panjang tentang masalah-masalah penyimpangan yang terjadi tersebut. Namun lebih cenderung membahas masalah sistem yang berlaku di Indonesia, khususnya untuk sistem yang menunjang efisiensi dan akuntabilitas keuangan terutama di jalur Pemerintahan Indonesia.
Pertama berawal dari Krisis Ekonomi yang melanda di Indonesia sekitar tahun 1997, yang mengagetkan bangsa Indonesia bahwa ternyata hal itu diidentifikasikan karena berbagai penyimpangan yang terjadi pada masalah Ekonomi dan Keuangan, yang berdampak pada masalah moneter yang kemudian berimbas lagi ke masalah merosotnya Perekonomian Indonesia yang sampai sekarang dampaknya masih terasa terutama bagi rakyat kecil. Ketika itu para akuntan dan pemeriksa keuangan dinilai gagal karena tidak bisa mengidentifikasi dan melakukan perbaikan atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bidang keuangan. Namun apakah hal itu memang semata-mata kesalahan pada pihak akuntan dan pemeriksa keuangan?
Dengan berjalannya waktu, dan setelah melalui tahap reformasi politik dan bidang lainnya, ternyata sampai saat ini kita juga masih mendengar adanya penyimpangan dan korupsi terjadi, bahkan disinyalir lebih meluas. Lalu apa makna semua ini, apakah kita gagal memperbaiki keadaan. Semoga bangsa ini masih bisa optimis untuk memperbaiki keadaan di masa mendatang.
Bagaimana dengan Sistem Akuntansi Sektor Publik
Memang berbagai hal telah dilakukan untuk menaggulangi masalah kebocoran dan korupsi di Indonesia. Namun kami belum pernah mendengar greget (keinginan yang kuat) untuk mengubah dan memperbaiki Sistem Keuangan khususnya di lembaga-lembaga Pemerintahan atau yang lebih dikenal sebagai Sistem Informasi Akuntansi Sektor Publik.
Mulai tahun 1980-an di negara-negara maju telah mengarahkan penyesuaian akuntansi sektor publik seiring dengan perkembangan dan tuntutan reformasi sektor publik. Misalnya di pemerintah New Zeland telah mengadopsi Sistem Akuntansi Swasta ke sektor publik mulai tahun 1991 dengan menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual dan dinyatakan paling sukses di antara negara lain. Perubahan itu terjadi karena sektor publik mendapat tekanan untuk lebih efisien, memperhitungkan biaya ekonomi dan sosial.
Salah satu pokok kegiatan akuntansi sektor publik adalah penyusunan anggaran. Anggaran pada akuntansi sektor publik adalah estimasi kerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial (Mardiasmo, Buku: Akutansi Sekotr Publik, Yogya, 2002). Namun ada kelemahan dengan menggunakan sistem anggaran ini, misal pada anggaran tradisional satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.
Dalam kasus di lapangan hal ini sering diterjemahkan bahwa anggaran harus habis dan sedapat mungkin bersaldo nol, jika tidak habis berarti tidak mampu merealisasikan program kerja dan tidak bisa mencapai standar mutu yang diharapkan. Jika tidak habis, maka mulailah penanggung jawab kegiatan mencari upaya bagaimana agar dinilai sukses dalam program. Kemudian mulailah berkolaborasi dengan dunia usaha yang terkait dengan pengadaan dan pelaksanaan program, pengeluaran mulai dimark up dan ditepat-tepatkan dengan anggaran. Anggaran yang minus berusaha ditutupi dengan anggaran yang masih bersaldo, atau justru yang masih bersaldo dimark up agar pas dengan anggaran.
Kasus yang terjadi ini bisa bersumber dan berawal pada saat penyusunan anggaran. Apakah di dalam penyusunan anggaran tadi sudah dapat mencerminkan suatu keakuratan yang tinggi, dalam arti bisa memberikan gambaran yang logis dan tepat untuk pengeluaran yang akan terjadi sesungguhnya? Apakah ketika menyusun anggaran sudah bisa memprediksikan kondisi ekonomi secara tepat? Daripada minus anggaran, setiap kali pengajuan anggaran nominalnya akan cenderung menaikkan, masih bisa diterima jika alasannya hanyalah sekedar jaga-jaga untuk kondisi ekonomi yang tidak menentu, tapi apa jadinya kalau ternyata pembekaan nominal anggaran itu justru digunakan sebagai kesempatan untuk tujuan lain?
Mengapa Sistem Informasi Akuntansinya yang perlu diperbaiki lebih dulu? Karena sistem merupakan bentuk dasar untuk melakukan kegiatan. Sistem adalah jaringan prosedur yang dibuat menurut pola terpadu untuk melaksanakan kegiatan. Jika dibandingkan dengan sektor swasta, tentu mempunyai pola yang berbeda dengan Akuntnasi Sektor Publik. Namun di negara maju, justru mengupayakan untuk bisa menerapkan pola-pola sektor swasta ke sektor publik, karena melihat kelebihannya pada kemampuan menunjang efisiensi ekonomi dan keperluan berbagai analisa ekonomi. Seperti misal adalah evaluasi biaya dan manfaat.
Tujuan dari sistem ini adalah untuk mencapai laporan keuangan yang handal. Siapa yang paling berkepentingan terhadap laporan ini? Yang paling utama adalah pemilik, kemudian pihak manajemen dalam hal ini pelaksana pemerintahan, kemudian pihak terkait lainnya seperti kreditor dan pasar modal. Membicarakan tentang pemilik, siapakah pemilik bangsa Indonesia ini? Sebagai Negara Republik, kita telah sepakat bahwa rakyat adalah pemilik bangsa, yang entah itu melalui perwakilan atau ditinjau dari masyarakat luas. Jika manajemen negara sudah mengakui siapa pemilik bangsa, tentu akan menyadari pula bahwa sebagai pemilik tentunya tidak rela kalau kekayaan yang menjadi haknya habis digerogoti dan dilaporkan secara tidak wajar.
Penulis
Agus Muji, S.E.
No comments:
Post a Comment