Monday, September 15, 2008

Tuhan yang Universal

Saat melihat matahari bersinar, bumi yang menghidupi, bulan yang memancarkan cahaya, saat itu hati jadi merenung, oleh siapa dan untuk siapa semua itu diciptakan. Tentu kita mengenal yang kita sebut adalah Tuhan yang menciptakan semua itu. Diciptakan untuk suatu kehidupan maupun keseimbangan jagad raya.

Saya pikir kita bisa menyetujui bahwa Tuhan mengatur dan menciptkan apa yang kita lihat maupun tidak bisa kita lihat dengan mata. Mungkin karena teralu kecil dari penangkapan mata, mungkin karena terlalu jauh dari penangkapan mata, bahkan jika di tempat gelapun mata kita tidak bisa menangkapnya. Artinya bahwa manusia tidak mengetahui semua yang ada di jagad raya ini. Banyak yang tidak bisa lihat ataupun tidak kita ketahui maknanya. Tapi keagungan sang perancang telah membuat semua itu berjalan sesuai dengan alur dan takdir jalannya. Planet mempunyai orbit, bintang berkumpul menjadi galaksi, ataupun udara yang banyak ditemukan di atmosfir bumi. Semua saling mengisi dan terikat.

Kita mungkin menyetujui bahwa Tuan atas semua ini satu, jika banyak mungkinkah Tuan akan berselisih antar Tuan sehingga terjadi berjalan sendiri sesuai kehendak Tuannya. Jika demikian cepat rusaklah alam semesta ini karena masing masing mengikuti kehendak dari pencipta paling tingginya. Apalagi mungkinkah terjadi perang antar pencipta tertinggi semesta.

Di belahan bumi ini, melalui agama kita diperkenalkan penyadaran akan adanya Tuhan sang pencipta. Masing-masing mempunyai cara untuk menceritakan adanya awal mula dari terjadinya bumi dan seisinya. Namun semua tetap menuju kepada Dia yaitu Tuhan yang menciptakan semua ini.

Jika kita menyutujui Tuhan adalah satu, maka bisakah setiap agama mengakui “ini lho Tuhanku?” dan bertanya kepada agama lain “mana Tuhanmu?” atau lebih jelek ngomong “Tuhanmu adalah salah!”. Yang salah sih bukan Tuhannya, tapi yang ngomong itu? Karena dia tidak sadar pikiran terbatasnya bisa mengatakan Tuhan agama lain salah. Padahal tujuan dari agama-agama adalah sama, yaitu mengenal Tuhan. Tapi karena egoisme pemahaman suatu agama, bisa jadi menganggap yang lain adalah salah.

Agama yang satu ngomong, “surga itu di sana, syaratnya ke sana... bla..bla..bla”, yang lain ngomong “surga itu letaknya di sini, caranya masuk..bla..bla..bla”. Masing-masing boleh ngomong begitu, hanya satu pertanyaannya. Surga itu sebenarnya ada berapa? Kalau memang setiap agama punya satu surga, bagus.. berarti nanti manusia akan terpisah-pisah berdasar RT agama. Berarti di Surga nanti ada alamat buat ngirim surat ke orang “ini..” RT agama “01” nomor “sekian”. Namun jika surga itu satu kawasan, nah berarti tujuannya juga sama bukan.

Agama Kehilangan Jati Diri

Setiap agama dibentuk untuk mengembalikan kesadaran akan Tuhan. Seharusnya juga bisa lebih memanusiakan manusia. Pandangan sempit beragama adalah bahwa tidak ada keselamatan di luar agama dia. Apakah hal tersebut tidak mengatakan bahwa dia sebenarnya lupa kemana tujuan agamanya. Tujuannya adalah membawa dia memahami dimana Tuhan. Jika Tuhan adalah satu, kenapa agama justru mengkotak-kotakkan manusia berdasar keyakinannya. Jika engkau ikut aku “OK” jika tidak ikut “no way”. Agama kehilangan jati diri, yang seharusnya mengenalkan Tuhan, akhirnya berhenti pada mengenalkan agama. Sifat kemanusiaan jika berbeda agama justru dipandang sebelah mata, sebagai orang asing yang mungkin dianggap surganya lain.

Agama dimodifikasi pula sebagai kendaraan politik, kendaraan kekuasaan, kendaraan mencari masa, kendaraan untuk mencari kehormatan. Jika seperti itu, sama saja berkata, “Tuhan, minggirlah dahulu, biarkan tujuan dan keinginan saya tercapai, Engkau bantu aku ya.” Waduh.. mestinya dia malu, lha harusnya dia yang mengabdi Tuhan sebagai penciptanya, eh.. malah Tuhan dijadikan pembantu. Sadar atau tidak silahkan renungkan pada diri masing-masing, tidak perlu menyalahkan orang lain.

Banyak skat yang akhirnya bisa kita temui karena hukum yang diatasnamakan agama. Semisal, tidak boleh pacaran beda agama, tidak boleh menikah beda agama, agama yang lain dianggap tidak bersih atau berdosa. Waduh.. itu sih hukum manusia, bukan hukum Tuhan. Mana ada Tuhan mengatur sampai ke situ. Lihat kitab suci masing-masing, apakah ada Tuhan yang mengatur seperti tadi. Berarti sadar atau tidak, justru agama yang tidak memanusiakan manusia, membelah manusia menjadi suatu diskriminasi, tidak bisa menghormati manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan seperti tujuan utama pemahaman diciptakannya agama. Coba deh tanyakan kepada para nenek moyang pembawa agama, maksudnya ayah atau ibu atau kakek dan seterusnya dari utusan Tuhan yang menyatakan suatu agama. Coba tanyakan pada mereka, agama mereka apa? Tentu agama mereka bukanlah agama yang dibawa utusan tersebut. Kenapa, ya karena agamanya belum lahir, belum ada. Tapi bukankah Tuhan telah ada dan telah mereka percayai sebelumnya. Nah jika bisa memahami itu, apakah masih mau mengatakan orang yang tidak seagama dengannya tidak akan masuk surga, nanti dulu, lha yang berjasa melahirkan si pembawa agama itu masuk surga tidak.

Orang beragama harus dewasa
Untuk mencapai pada tingkat pengenalan Tuhan yang lebih baik, manusia harus lebih dewasa dalam beragama. Dewasa berarti bisa mempertimbangkan, mempertanggung jawabkan, mengambil sikap, dan berpikir luas. Beragama bukan sekeder berhitung dagang dengan Tuhan, maksudnya jika saya melakukan ini, maka Tuhan akan membalas ini, jika saya memberikan ini, maka Tuhan akan mencatat sebagai piutang sebesar ini. Orang yang paling bisa dianggap tinggi nilai keimanannya adalah diukur dari tingkat kepasrahannya kepada kehendak Tuhan, bukan kepada kehendak dirinya. Sadar atau tidak, kadang kita mengeset Tuhan adalah seperti kehendak kita. Kita melampaui batas persepsi yang semestinya bukan hak kita. Nah itu yang berbahaya, karena hal tersebut bisa menghukum manusia lain sepertinya atas nama Tuhan, padahal bukan, melainkan atas nama egoisnya.

Tahapan perkembangan keimanan mungkin adalah seperti ini.
Mukjizat: orang terkagum-kagum dengan mukjizat yang ditumbulkan sesuatu, mengharapkan banyak kebahagiaan dan kejayaan dari situ, menganggap dirinya adalah lebih tinggi daripada yang lain.
Masa Percobaan: Nah ini dia, seseorang akan mengalami ujian. Sedikit demi sedikit mukjizat tidak dikeluarkan untuk dirinya, doa-doanya mulai dirasa tidak dikabulkan. Banyak hal dirasa berjalan di luar keinginan dan kendalinya. Akhirnya dirinya merasa mempunyai beban terhadap banyak hal.
Masa Kejatuhan: Begitu banyak dera dalam batinya, kepercayaannya mulai hilang, akhirnya dia jatuh, lunglai, merasa tidak berdaya. Jika imannya memang kecil sampai di situ, mungkin dia akan segera lari dari Tuhan, pergi ke hal-hal duniawi. Pergi kepada hal-hal yang bisa dimengerti oleh mata dan pikirannya, padahal belum tentu hal itu membuatnya menjadi lebih baik.
Masa Kepasrahan: Nah, jika memang orang tersebut bisa memahami dan belajar dari masa percobaan dan kejatuhan, maka dia akan menemukan kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Yang memang harus terjadi adalah kehendak Tuhan.