Wednesday, April 30, 2008

Pidato Presiden RI, Bpk. SBY

Memperhatikan pidato presiden yang disiarkan media televisi pada 30 April 2008 malam, mengajak Rakyat Indonesia untuk tegar dalam menghadapi kesulitan dan masalah ekonomi. Selain itu mengajak semua jajaran dan instansi untuk hemat energi, berupa listrik dan bbm.
Penulis, tapi ada hal lain yang perlu diperhatikan dan direalisasikan, yaitu keadilan dan kejujuran dari semua jajaran untuk membangun Indonesia. Siapkan mental jujur dan adil.

Monday, April 21, 2008

Kritisi Iklan di Media Televisi Indonesia

Kritisi Iklan di Media Televisi Indonesia


Perang bisnis untuk memperebutkan pangsa pasar membutuhkan suatu trik yang tepat dan mengena. Perang di sini adalah suatu kompetisi untuk merebut hati calon konsumen agar mau memilih produk yang ditawarkan suatu perusahaan tertentu. Ini adalah suatu persaingan yang mana akan tampak terlihat serunya antara beberapa perusahaan yang bergerak dalam penyediaan produk yang sama. Persaingan itu bisa berupa persaingan harga, mutu layanan, kepuasan konsumen, dan yang tampak menyolok adalah perang iklan. Bidang yang mudah dilihat adalah persaingan di dalam iklan. Karena di dalam iklan tersebut, perusahaan akan memaparkan sedikit ataupun lebih keunggulannya atas produk yang lain maupun produk sebelumnya.

Saat ini, yang mudah dilihat dan setiap saat bisa kita jumpai dengan mudah adalah iklan melalui layar kaca televisi. Di antara jeda acara-acara yang kita gemari di televisi tentu akan memuat iklan. Semakin acara televisi mendapat rating tinggi, semakin berjubel pula iklan yang mengantri untuk ditayangkan.

Kenapa iklan di televisi?

Dari tampilan iklan, orang sudah bisa menilai seberapa kuat perusahaan tersebut membiayai iklan. Jika gambarnya bagus dan artistik, suara bagus, dan pesan mengenai, bisa diyakini itu memakan biaya tinggi untuk memproduksinya. Namun perusahaan yang pas-pasan atau biasa saja, hanya bisa menampilkan iklan yang biasa-biasa pula, seadanya, yang penting bisa ikut beriklan di televisi, meskipun ternyata sulit untuk mengimbangi antara biaya yang dikeluarkan untuk iklan tersebut dengan margin pendapatan yang diterima.

Sebenarnya bukan masalah tersebut yang akan dikemukakan, tetapi kali ini akan lebih banyak menyoroti tentang tingkah laku periklanan di Indonesia. Karena banyaknya iklan yang tayang, dan aneka warna cara penayangannya, maka secara tidak sadar, iklan-iklan tersebut juga ikut dalam menjejali pola pikir masyarakat maupun dunia bisnis. Semakin lama semakin banyak iklan yang sudah mengesampingkan etika dan bagaimana menghormati perusahaan pesaingnya. Iklan-iklan kita sudah berjalan seperti mafia atau cowboy dalam perfilman. Saling jegal dan saling telikung tanpa basa-basi.

Apakah hal tersebut memang mengindikasikan pola persaingan bisnis di negara kita? Dan lebih jauh dampaknya bisa berbuntut pada pola berpikir masyarakat kita. Mengapa? Karena masyarakat kita dari kecil sampai dewasa secara tidak sadar, baik berdampak langsung maupun tidak terbentuk dari pola berpikir pada iklan yang ditayangkan terus menerus di televisi.

Pola Pikir yang bagaimana?

Pola pikir yang semestinya saat ini perlu direm atau diupayakan untuk dihilangkan saja adalah pola beriklan dengan cara saling menuding, memotong, merendahkan perusahaan lain. Misal saja, yang saat ini kentara adalah perang iklan di penyedia operator layanan jaringan telepon genggam (hand phone), penjualan sepeda motor, obat nyamuk, sabun cuci, jamu tradisional tolak angin, dan mungkin masih ada lagi. Saya tidak akan menyebut merek ataupun produk yang saling berlawanan tersebut, pembaca dapat menganalisanya sendiri. Pola yang digunakan biasanya adalah pola sindiran, penyerangan langsung atas materi iklan lawan, ataupun ingin memaparkan “ini lho, produkku lebih unggul dari si itu”. Silahkan pembaca berpikir sendiri, apakah iklan semacam itu menyenangkan atau tidak? Kalau bagi saya pribadi, iklan semacam itu membuat saya turun respect terhadap perusahaan tersebut. Dan seandainya ada pilihan, malah saya akan mencari produk lain. Iklan yang menjatuhkan produk lain, bagi saya adalah iklan yang membodohi masyarakat. Mengapa? Karena sebenarnya ia tidak punya keunggulan yang dapat dibanggakan lebih, sehingga satu satunya jalan adalah menyerang iklan perusahaan lain. Tidak ada peningkatan mutu dan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat. Coba rasakan sendiri.

Sebagai contoh, silahkan beli semua produk dari layanan jasa telekomunikasi, dalam hal ini adalah kartu telepon genggam (sim card hand phone). Silahkan coba, apakah yang disampaikan di iklan tersebut benar-benar terbukti? Yang murah banyak trouble, ah itu nggak bisa diprotes, lha tarifnya murah. Entah itu trouble tidak bisa kirim sms, trouble tidak bisa terima sms dari operator lain, trouble tidak bisa terima telepon dari operator lain, bahkan ada yang belum sempat dipakai kartunya sudah mati atau tidak bisa diaktifkan. Ini benar-benar terbukti. Saya dan teman masih menyimpan nomor-nomor tersebut. Dan ketika anda menanyakan ke customer service. Yakin sekali, jawaban mereka tidak akan memuaskan Anda. Kenapa? Ya memang karena mereka bukan pembuat sistem dan menjalankan jaringan. Jadi mereka tidak akan menuntaskan pertanyaan Anda.

Itu hanyalah sebagian contoh saja. Belum lagi gaya si bebek yang suka usil itu. Aduh, eman-eman betul si eyang, yang mestinya bisa mengajari anak cucu untuk berpikir menghormati orang lain, eh ini malah dengan sinisnya membandingkan produk yang diunggulkannya dengan merek lain. Masyarakat ikut dirasuki jiwa sinis lho. Sudahlah, tolak saja iklan dengan scene yang macam begitu. Kembalilah ke jalan yang benar. Katanya Anda sudah berpikir kebudayaan dan moral masyarakat.

Walah, jadi ngelantur. Tapi tidak apa-apa, buat mengeluarkan uneg-uneg. Harus disampaikan kemana lagi. Yang jelas masyarakat mestinya lebih dewasa dalam menanggapi suguhan seperti tersebut.

Bagaimana semestinya?

Iklan adalah melambangkan citra perusahaan. Masyarakat akan terngiang dan terbenam dalam hati apabila iklan tersebut sangat bermutu, dan bahkan mengandung pesan yang bisa diolah dengan pemikiran positif dan pola pengembangan imajinasi yang kreatif. Entah itu sentuhan lagu, sentuhan amazing (luar biasa), sentuhan gambar, sentuhan budaya, sentuhan nafas cinta, dan lain sebagainya.

Perusahaan yang mapan, akan mempunyai pola yang mantap dalam mengiklankan produknya, tidak perlu terpengaruh oleh iklan orang lain. Karena masyarakat sudah pasti akan menantikan dengan rindu sentuhan yang mesra dari perusahaan tersebut. Itu akan mampu bertahan lama, daripada iklan yang wooooohhhh tapi mutu produknya tidak seperti yang diharapkan. Paling hanya akan booming sesaat, kemudian bangkrut.

Lihat saja produk-produk yang berkelas, mereka berjalan dengan iklan yang mantap materinya. Dia akan memaparkan detail produknya, fungsi dan kegunaannya, cara perawatannya, cara pemakaiannya, ataupun cara kreatif untuk memanfaatkan produk tersebut. Sentuhan iklan seperti sedang menyentuh calon konsumen dengan nuansanya sendiri. Membawa ke alam penuh kenangan akan produk tersebut, membawa kepada kesan yang elegan dan menyenangkan. Yah meskipun calon belum tentu punya dana untuk membelinya, tapi setidaknya sudah menanamkan benih keteduhan dan semangat dalam hidup calon konsumen. Respect dari masyarakat yang dalam terhadap produk dan perusahaan melalui iklan, tentunya akan membawa dampak yang bertahan dalam jangka panjang pula. Sustainability atau keberlangsungan perusahaan tersebut bisa dilihat jika iklannya masih mantap dengan materi yang menunjukkan jati diri perusahaan tersebut.

Lain halnya jika perusahaan tersebut sudah mulai mengungkit perusahaan lain, lha ini, bisa ditebak perusahaan tersebut sedang mengalami performa merosot, tidak tahu harus bagaimana lagi untuk bertahan, salah satu jalan yang paling mudah adalah mengeluarkan iklan tandingan. Lebih mudah bukan?? Daripada membuat layanan untuk meningkatkan performa produk.

Terlepas dari pandangan singkat ini, semoga para pembaca bisa berpikir kritis dan menemukan pola pandang sendiri terhadap apa yang dipaparkan di dalam periklanan media televisi kita.


Penulis, 21/04/2008

Agus Muji, S.E.

Menuju Efisiensi Keuangan Sektor Publik

Menuju Efisiensi Keuangan Sektor Publik
Salah satu penyebab kebocoran dan ketidak efisienan dana di sektor publik adalah karena adanya mark up dalam Laporan Keuangan atas Program Kerja. Bagaimana perhatian kita terhadap hal ini kalau kita memang menghendaki perbaikan ekonomi?
Indonesia terus merangkak. Kita boleh berbangga bahwa kita telah mendengar adanya keinginan untuk merevisi, merubah, atau mengganti Undang-Undang dan Peraturan yang akan menjadi pedoman dalam perjalanan Bangsa Indonesia selanjutnya. Kita lihat misalnya mulai dari Pemberlakuan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, kemudian juga Otonomi Perguruan Tinggi, Perubahan pada Sistem Pendidikan Nasional, Standardisasi Pendidikan Nasional, atau tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Lepas dari Pro dan Kontra tentang kebijakan tadi, kita juga bisa melihat fenomena lain, misalnya tentang penyimpangan keuangan di KPU, kasus Abdulah Puteh di Aceh, termasuk kasus korupsi beberapa Kepala Daerah lain, dan kelangkaan BBM yang sempat melanda di berbagai daerah di Indonesia. Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah ini kesalahan sistem atau sikap mental para pelaksananya?
Kali ini kita tidak akan membahas dan mengungkit panjang tentang masalah-masalah penyimpangan yang terjadi tersebut. Namun lebih cenderung membahas masalah sistem yang berlaku di Indonesia, khususnya untuk sistem yang menunjang efisiensi dan akuntabilitas keuangan terutama di jalur Pemerintahan Indonesia.
Pertama berawal dari Krisis Ekonomi yang melanda di Indonesia sekitar tahun 1997, yang mengagetkan bangsa Indonesia bahwa ternyata hal itu diidentifikasikan karena berbagai penyimpangan yang terjadi pada masalah Ekonomi dan Keuangan, yang berdampak pada masalah moneter yang kemudian berimbas lagi ke masalah merosotnya Perekonomian Indonesia yang sampai sekarang dampaknya masih terasa terutama bagi rakyat kecil. Ketika itu para akuntan dan pemeriksa keuangan dinilai gagal karena tidak bisa mengidentifikasi dan melakukan perbaikan atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bidang keuangan. Namun apakah hal itu memang semata-mata kesalahan pada pihak akuntan dan pemeriksa keuangan?
Dengan berjalannya waktu, dan setelah melalui tahap reformasi politik dan bidang lainnya, ternyata sampai saat ini kita juga masih mendengar adanya penyimpangan dan korupsi terjadi, bahkan disinyalir lebih meluas. Lalu apa makna semua ini, apakah kita gagal memperbaiki keadaan. Semoga bangsa ini masih bisa optimis untuk memperbaiki keadaan di masa mendatang.
Bagaimana dengan Sistem Akuntansi Sektor Publik
Memang berbagai hal telah dilakukan untuk menaggulangi masalah kebocoran dan korupsi di Indonesia. Namun kami belum pernah mendengar greget (keinginan yang kuat) untuk mengubah dan memperbaiki Sistem Keuangan khususnya di lembaga-lembaga Pemerintahan atau yang lebih dikenal sebagai Sistem Informasi Akuntansi Sektor Publik.
Mulai tahun 1980-an di negara-negara maju telah mengarahkan penyesuaian akuntansi sektor publik seiring dengan perkembangan dan tuntutan reformasi sektor publik. Misalnya di pemerintah New Zeland telah mengadopsi Sistem Akuntansi Swasta ke sektor publik mulai tahun 1991 dengan menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual dan dinyatakan paling sukses di antara negara lain. Perubahan itu terjadi karena sektor publik mendapat tekanan untuk lebih efisien, memperhitungkan biaya ekonomi dan sosial.
Salah satu pokok kegiatan akuntansi sektor publik adalah penyusunan anggaran. Anggaran pada akuntansi sektor publik adalah estimasi kerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial (Mardiasmo, Buku: Akutansi Sekotr Publik, Yogya, 2002). Namun ada kelemahan dengan menggunakan sistem anggaran ini, misal pada anggaran tradisional satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.
Dalam kasus di lapangan hal ini sering diterjemahkan bahwa anggaran harus habis dan sedapat mungkin bersaldo nol, jika tidak habis berarti tidak mampu merealisasikan program kerja dan tidak bisa mencapai standar mutu yang diharapkan. Jika tidak habis, maka mulailah penanggung jawab kegiatan mencari upaya bagaimana agar dinilai sukses dalam program. Kemudian mulailah berkolaborasi dengan dunia usaha yang terkait dengan pengadaan dan pelaksanaan program, pengeluaran mulai dimark up dan ditepat-tepatkan dengan anggaran. Anggaran yang minus berusaha ditutupi dengan anggaran yang masih bersaldo, atau justru yang masih bersaldo dimark up agar pas dengan anggaran.
Kasus yang terjadi ini bisa bersumber dan berawal pada saat penyusunan anggaran. Apakah di dalam penyusunan anggaran tadi sudah dapat mencerminkan suatu keakuratan yang tinggi, dalam arti bisa memberikan gambaran yang logis dan tepat untuk pengeluaran yang akan terjadi sesungguhnya? Apakah ketika menyusun anggaran sudah bisa memprediksikan kondisi ekonomi secara tepat? Daripada minus anggaran, setiap kali pengajuan anggaran nominalnya akan cenderung menaikkan, masih bisa diterima jika alasannya hanyalah sekedar jaga-jaga untuk kondisi ekonomi yang tidak menentu, tapi apa jadinya kalau ternyata pembekaan nominal anggaran itu justru digunakan sebagai kesempatan untuk tujuan lain?
Mengapa Sistem Informasi Akuntansinya yang perlu diperbaiki lebih dulu? Karena sistem merupakan bentuk dasar untuk melakukan kegiatan. Sistem adalah jaringan prosedur yang dibuat menurut pola terpadu untuk melaksanakan kegiatan. Jika dibandingkan dengan sektor swasta, tentu mempunyai pola yang berbeda dengan Akuntnasi Sektor Publik. Namun di negara maju, justru mengupayakan untuk bisa menerapkan pola-pola sektor swasta ke sektor publik, karena melihat kelebihannya pada kemampuan menunjang efisiensi ekonomi dan keperluan berbagai analisa ekonomi. Seperti misal adalah evaluasi biaya dan manfaat.
Tujuan dari sistem ini adalah untuk mencapai laporan keuangan yang handal. Siapa yang paling berkepentingan terhadap laporan ini? Yang paling utama adalah pemilik, kemudian pihak manajemen dalam hal ini pelaksana pemerintahan, kemudian pihak terkait lainnya seperti kreditor dan pasar modal. Membicarakan tentang pemilik, siapakah pemilik bangsa Indonesia ini? Sebagai Negara Republik, kita telah sepakat bahwa rakyat adalah pemilik bangsa, yang entah itu melalui perwakilan atau ditinjau dari masyarakat luas. Jika manajemen negara sudah mengakui siapa pemilik bangsa, tentu akan menyadari pula bahwa sebagai pemilik tentunya tidak rela kalau kekayaan yang menjadi haknya habis digerogoti dan dilaporkan secara tidak wajar.

Penulis
Agus Muji, S.E.

Saturday, April 19, 2008

Calon Pemimpin, Bukan Promosi Dagang

Hal yg menggelitik bisa saja terjadi. Saat mendengar kampanye seorang calon gubernur. Intinya bunyinya adalah, pilihlah saya calon pimpinan yang jujur. Pertanyaannya adalah, bagainana pemimpin itu bisa jujur kalau dia sendiri sudah mencuri start waktu kampanye?

Thursday, April 10, 2008

Sudah Terbit Undang-Undang Pornografi

Undang-Undang Pornografi?? Ah.. membaca ini saya tidak tahu, mesti bangga atau bersedih. Begitu mudahnya menerbitkan Undang-Undang seperti halnya membuat koran harian. Padahal ini kan Undang-Undang yang berkekuatan hukum, yang bisa digunakan untuk menghukum orang.
Melihat ancamannya saja sudah geleng-geleng 1-10 tahun penjara. Wah.. melebihi hukuman kepada para pengedar narkoba ataupun koruptor, politisi yang sok usil menyalahi aturan main kampanye maupun pemilihan.
Benar-benar hebat bukan? Daya pornografi melebihi itu semua. Padahal.. ehh.. ditempat gelap, yang bikin Undang-Undang tuh bisa juga melakukan selingkuh. Kalau selingkuh sih diperbolehkan asal tidak pornografi di depan umum, di depan cermin aja. Jangan sok suci ah... di hotel-hotel kalian juga pesan cewek bookingan?? Hayo.. bener nggak??
Undang-Undang ini belum bisa diberlakukan jika belum ada juklak lengkapnya. Mempertontonkan di depan Umum.. kriterianya seperti itu. Mempertontonkan punya sendiri atau orang lain?
Wah.. di stasiun kemarin saya lihat orang gila yang tidak pake baju apa-apa. Perlu dihukum itu, dipenjara 10 tahun. hahahaa.
Usul juga, pelajaran biologi dihapus, pelajaran kedokteran juga dihapus. Sebab perlu mempertontonkan kepunyaan... sex.. untuk praktek pelajaran sih....
Rupanya Indonesia masih seneng ditakut-takuti sama Undang-Undang. Padahal kebobrokan yang paling mendasar bukan dari pornografi. Itu hanya effect dari masyarakat. Masyarakat yang tidak bisa bekerja dengan layak, dan tidak bisa menggunakan pikirannya sebagaimana mestinya. Kenapa? Karena memang fasilitas di Bangsa Indonesia ini belum memadai untuk menggunakan apa yang kita punya secara optimal.
Program-progam banyak terhenti oleh kepentingan pribadi, partai, ataupun pejabat pemerintahan. Meskipun katanya mengatasnamakan rakyat. Busyettt. Berapa gelintir orang yang bisa dicari yang tulus seperti itu.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang sedang frustasi. Nyari apa-apa susah, nyari hidup yang dilindungi susah, semua serba ditekan, cari makan susah, dana bantuan aja bisa dikorupsi. Katanya sih lagi ambruk dari berbagai sektor.
Effect frustasi inilah yang mengakibatkan budaya negatif banyak berkembang. Mulai dari pentahayulan pohon besar, hutan rindang, tepian kali yang angker, maen kudalumping sampai lupa diri, duwe bojo loro.
Ah.. masih banyak yang perlu dipikirkan, yaitu mengentaskan bangsa Indonesia dari budaya yang tidak mapan ini. Kalau kegiatan positif-positif dan menyenangkan. Ah.. rasanya pornografi juga tidak menjadi pilihan.
Banyak perselingkuhan di kalangan pejabat, artis, main belakang, rebut istri atau suami orang. Itu lebih porno.... hahahaha. Tapi ada lagi yang lebih porno luar dalam. Yaitu orang yang merasa "Sok Suci", ada pepatah: barang siapa suci di Indonesia boleh menghukum atas nama hukum pornografi.