Tuesday, August 18, 2015

Konvoi Motor Gede

Seandainya dan hanya seandainya, cerita ini hanya berandai-andai setelah melamun di depan pagar rumah sambil memandang bulan yang bersinar tiga per limabelas.
Di Djogjakarta dan seantero sisi belantara nusantara sedang ramai masalah motor gede. Di jalanan konvoi motor gede dinilai kurang memperhatikan kepentingan masyarakat lainnya. Motor gede itu sebenarnya bagus banget kalau jalan bunyinya dud dud dud... satu dud sudah jalan 10 meter. Maka motor ini konon banyak dikenal dengan nama motor dudud.
Ketika itu di suatu perempatan motor dudud ini berseliweran dan melaju tanpa memperhatikan rambu merah lalu lintas. Terpaksa mobil lain banyak yang harus legowo mengantri, meskipun risikonya bagi sang pengusaha adalah kehilangan jam terbang dan tiket pesawat, bagi pemudik kehilangan tiket kereta bisnis atau ekonomi punya mereka, para bos terlambat datang memimpin rapat, para veteran kehilangan momen untuk bercerita kisah perjuangan mereka di suatu perkumpulan, para abdi dalem dan punggawa kraton terlambat di tempat pengabdian mereka, penyanyi yang mau manggung kehilangan intro lagunya, dan wah masih banyak lagi. Meskipun ada seorang pengacara yang menyindir bahwa kita harus memberi hak istimewa pada para pemilik motor dudud ini karena telah membuka banyak lapangan pekerjaan. Tapi apakah para pihak yang dirugikan tadi juga tidak membuka banyak lapangan pekerjaan?
Di sisi jalan yang lain terdapat mobil yang sign mau berbelok ke kanan diblok oleh pemotor sambil bersilang tangan di dada isinya adalah seorang ibu dan balita mungilnya. Tapi di sisi lain yang ada di negeri cerita, juga terdapat mobil biasa malah agak kuno yang sudah sign belok dihadang pemotor sambil bersilang tangan di dada. Peristiwanya cukup lama, banyak masyarakat memperingatkan kelakuan ini namun tidak dihiraukan. Tak pelak hal ini menjadi suatu keramain khusus di media sosial. Namun tidak pernah mengetahui penghuni mobil itu. Saking ramainya cuwar cuwir yang menentang maupun mendukung si kera putih mencoba menelusur siapa pemilik mobil itu. Ia geli saja mendengar banyak cuwar-cuwir yang menyerupai bunyinya ketika sedang bermain. Di dapatlah apa yang dia cari dari berbagai kabar yang didengar di telinga, yang di dengar adalah dari seorang abdi dalam kraton. Ternyata yang di dalam mobil itu adalah paduka Sri Sultan. Ia ingin menanyakan mengapa pemegang kekuasan di Kraton Djogja itu rela menunggu dan mengantri dengan sabar. Tapi tidak tahu bagaimana cara dia berkomunikasi dengan manusia. Lantas dia mencari-cari abdi dalem yang mungkin ada yang tahu bahasa cuwar cuwirnya. Setiap abdi dalem di cuwar cuwir, dan terdapatlah abdi dalam yang bisa mengerti bahasa kera. Ia berpesan kepada abdi dalem tersebut untuk menyanyaka "mengapa Sri Sultan berkenan menunggu". Setelah menanti cukup lama, maka ia mendapat jawabannya. YA, SEBAGAI TUAN RUMAH HARUS MENGHORMATI TAMU. Bukankah begitu, HARUS MENGHORMATI?? Kalau tuan rumah tidak menghormati, BAGAIMANA TAMU BISA MENGHORMATI??
Setelah menerima jawaban itu si kera putih hanya merenung berjam jam berhari hari. Bagaimana ya maksudnya cuwar cuwir ini. Kok gak mudeng-mudeng. Ah, maklum mungkin itu bahasanya terlalu tinggi untuk dimengerti. Sebab di dunia belantaranya jarang sekali terdengar cuwar-cuwir yang maknanya kurang jelas begitu.

--------------------------------
Monkeys Dancing the Series / Tarian Kera-Monyet (c) Agus M. Takeshi
Monkyes Dancing atau Tarian Kera-Monyet ditujukan sebagai seri yang berisi berbagai pemahaman dan perenungan. Judul seri ini seperti halnya yang pernah ada oleh penulis lain misal Tarian Katak, Katak dalam Tempurung, dan sebagainya. Isinya perlu dipahami secara mendalam dan tidak sekedar harfiah, lebih baik dipahami dalam sisi filosofis.

No comments: